Kado Tersakit di Ulang Tahun Anakku
#DiarySangGuru
Aku tidak pernah mengalami perlakukan sehina itu seumur hidupku, inilah pertama kali aku mendapatkannya dan semoga ini menjadi terakhir. Rasanya tak sanggup aku membayangkan rasa sakit dan penghinaan itu. Sedihnya, itu semua aku dapatkan dari seorang panitia yang selama ini kantornya seperti kantor keduaku, sebagian besar pegawainya disana adalah guruku bahkan beberapa di antaranya sudah kuanggap orang tua. Mungkin memang salahku, tapi pantaskah aku diperlakukan seperti itu?
Semuanya berawal dari undangan kegiatan yang akan dilaksanakan di sebuah hotel. Sejak awal sebelum undangan diberikan, guruku memintaku untuk membantunya dalam kegiatan yang akan dilaksanakan ini.
“Mohon
bantu kami ya, untuk merumuskan …”
“Siap,
kapanpun kantor memanggil, aku pasti datang.” Jawabanku tanpa ragu
sedikitpun. Dedikasiku dan rasa memiliki
pada kantor, tidak perlu dipertanyakan. Sejak 2017 aku bersama, bagiku program
kantor ini adalah prioritas.
Sempat
dilema etika saat undangan datang, karena pas kegiatan yang direncanakan
bersamaan dengan elaborasi pemahaman di modul 3.2 Guru Penggerak. Kelas dari BBGP lampung dan Riau telah aku set jauh sebelumnya untuk mengisi menjadi instruktur yang mengajarnya via
daring.
Setelah
berpikir panjang, aku putuskan melepas sebagai instruktur di kelas Lampung dan
Riau. Aku memilih fokus pada kegiatan di kantor yang aku menyebutnya kantor
kedua setelah daerahku. Jika berpikir finansial, tentu menjadi instruktur pilihannya.
Apalagi mengajar di dua kelas tersebut tidak perlu lelah perjalanan karena secara
daring selama 3 jam, sedangkan acara kantor 4 hari ke hotel dengan perjalanan
sekali tempuh 8 jam jalur darat, berarti Pulang Pergi butuh waktu 16 jam.
Tetapi sekali lagi, rasa cintaku pada kantor menjadikannya prioritas, lebih
dari apapun.
Setelah
memutuskan hadir di kegiatan kantor dengan melepas kelas instruktur, dilema
kedua muncul. Kegiatan berlangsung dari
20-23 Februari 2024. Nah, di tangal 22 nya anak pertamaku ulang tahun.
“Ayah sedang di pulau, ibu juga mau pergi.” Kata anakku yang membuat aku sedih setelah sounding jauh hari sebelumnya akan berangkat dinas luar.
Biasanya anak-anakku tidak pernah mempermasalahkan saat aku bekerja, entah mau dinas luar kota atau bahkan luar negeri pun seperti saat 2019 lalu. Tapi kali ini, bertepatan dengan hari istimewanya yang memang setiap tahun aku berikan momen berharga untuknya. Bukan mengistimewakan anak ini dari yang lain, tapi memang perjuanganku mendapatkan kehadirannya di rahimku sangatlah panjang dan berat. 8 tahun penantian dengan segala bentuk rasa sakit dan air mata, sampai akhirnya 22 Februari kala itu, tangisan pertamanya adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan bagi kami. Hingga memang di setiap tanggal itu, kami mesti memberikan kesan padanya. Sebagai bentuk syukur dan terima kasih telah menjadi penyelemat pernikahan kami. Yang pernah berjuang mendapatkan garis dua, tentu bisa merasakan ini semua.
Momen yang
kuberikan, bukan perayaan ulang tahun seperti yang orang lain lakukan. Tidak perlu
mewah, kadang hanya mengajak teman-temannya berenang bersama, makan bersama keluarga
atau memberikah hadiah kepada teman sekolah dan teman ngajinya. Tahun ini aku
dah janji akan memberikan kado untuk guru-gurunya. lah kok pas aku ada undangan
acara di luar.
“Gak papa kok,
Bu. Berangkat aja, kan bisa ditunda setelah datang.” Katanya meyakinkan.
Aku kembali
berpikir tentang keputusanku. Apakah aku tetap pergi atau tidak? Di saat
kegalauan hadir, ponakanku yang dinas di sebuah Rumah Sakit di dekat hotel
tempat acara nanti menelpon. Kuceritakan rencanaku sekaligus kegalauanku.
“Bawa saja
anak-anak, ntar mereka aku jemput biar sama aku aja. Kontrakanku hanya tiga
menit ke hotelmu.” Kata Mas Dokter.
Wah, pas sekali.
Solusi yang tepat disaat gundah gulana. Mas dokter datang menelpon memberikan
solusi yang topcer. Akhirnya diputuskan mereka ikut bersamaku untuk tinggal
dengan masnya. Aku bisa lega menjalani tugas dinas ini tanpa harus merasa
bersalah pada anakku di hari istimewanya.
Sampai di
kegiatan, sementara anak-anakku masih tinggal di kamar sambil menunggu
jemputan. Sekamar berdua dengan teman daerah lain. Tapi anakku sudah kukondisikan
dari awal untuk tidak mengganggu apalagi membuat temanku tidak nyaman. Dia
memang tidak mau tidur di ranjang, sambil menunggu jemputan datang memilih
bermain game di lantai beralaskan selimut kesayangannya yang dia bawa dari
rumah.
Tidak ada hak
teman sekamar yang kuambil. Dia bisa beritirahat dengan nyaman di kasur.
Berkali-kali dia menawarkan untuk anakku tiduran di kasur juga, tapi anakku menolak.
Dia emang sudah terbiasa tidur di lantai sejak bayi, bahkan juga terlatih untuk
tidak mengambil hak orang lain.
Esoknya
ponakanku datang menjemput. Mereka dengan bahagia bersama masnya yang memang
sudah lama tidak bertemu.
Pelatihan
berlangsung sampai malam, meski lelah setelah perjalanan panjang. Tapi aku
tetap tampil dengan performa terbaik. Aku tidak mau mengecewakan kantor
sekaligus guru yang sudah memberikan rekomendasi agar aku bisa ikut
berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Malam kedua
terasa lelah sekali, sementara mataku tidak dapat terpejam. Sepertinya ini
akibat aku kebanyakan minum kopi pas coffee break malam. Pukul satu dini hari,
aku belum mengantuk sama sekali. Sementara temanku pamit untuk nginep di rumah
temannya, katanya di sekitar sini. Sedang anakku juga sudah dijemput masnya.
Karena belum mengantuk, aku menonton televisi sendiri hingga lelap entah di
pukul berapa. Aku terbangun saat alarm berbunyi, sementara kepala masih terasa
berat. Berarti aku tidur hanya sebentar. Hari ini, tepat di tanggal 22 Februari
2024.
Setelah bergegas
mandi dan salat, aku turun ke kolam renang. Membuat sebuah video ucapan selamat
ulang tahun dan doa untuk anakku.
“Ibu, aku ke
hotel ya hari ini. Pengin meluk ibu..” tulis anakku dalam pesan whatsapp setelah
video itu aku kirimkan. Tidak butuh lama, dia datang kembali ke hotel.
Memelukku erat dengan penuh perasaan tanpa berkata apapun. Setelah itu aku
pun membiarkannya di kamar kembali, karena masnya masih ada di klinik. Dia janji
akan jemput anakku sore nanti sepulang kerja.
Sedari pagi
kepalaku terasa puyeng. Sepertinya ini efek kurang tidur semalam. Aku tidak
biasa minum kopi sebanyak itu sebelumnya. Walau dengan badan yang tidak enak,
aku tetap berusaha tampil sebaik mungkin bersama teman-teman. Berdiskusi dan
mempresentasikan hasilnya yang memang mereka mempercayakannya padaku. Dengan
kepala cenat-cenut dan badan yang mulai meriang, aku masih menyelesaikan
pekerjaan timku dengan penuh bahagia. Hingga akhirnya terasa ada yang berbeda
di lidahku, aku seperti mengecap sesuatu yang tak biasa. Kulihat dari kamera
handphoneku, ternyata benar saja.
Darah! Gusiku
berdarah.
Aku bergegas ke
kamar mandi untuk berkumur-kumur.
Rupanya tidak
sedikit darah yang menetes, semakin aku berkumur semakin deras darah mengalir.
Aku yang sedikit phobia dengan darah, hingga menjadi pening saat melihatnya. Apalagi
ditambah dengan kondisiku yang hari ini kurang fit. Melihat darah terus
mengucur, penglihatanku semakin berkunang-kunang.
Aku ingat
pelajaran P3K, salah satu cara menghentikan pendarahan adalah kompres dengan
air dingin atau es. Aku pun bergegas turun ke lantai satu dimana lokasi restoran
ada di sana. Karena mulutku penuh dengan darah, aku menulis pesan dengan
menggunakan ponselku,
[Mbak, aku minta
es batu sedikit untuk kompres, aku mengalami pendarahan gusi]. Si mbak cantik
langsung memberi yang kuminta.
Aku kembali ke
kamar untuk melakukan perawatan sakitku. Es yang kudapat dari pelayan restoran,
kubungkus beberapa lembar tisu lalu dikompreskan ke pipi kananku. Beberapa saat
darah segar masih mengucur deras. Melihatnya aku semakin merasa lemas. Aku
takut melihat darah, aku trauma dengan darah. Meski demikian, aku tidak
menampakkannya di hadapan anakku yang sedang tiduran di lantai.
Saat pendarahan
sedikit reda, aku merebahkan diri di kasur. Kepalaku terasa sakit, badan panas dingin, gusiku terasa ngilu. Seberapa kuatnya aku bertahan, aku merasa
tidak sanggup lagi. Aku harus berobat.
“Mas, kalau
sudah pulang ke kontrakan, gak perlu jemput adik. Biar dia berangkat ke sana
sama aku. Aku perlu berobat, gusiku pendarahan.” Pesanku pada ponakanku yang
memang seorang dokter.
“Kompres dingin
atau es, Bik. Jangan panik.” Jawabannya membuatku sedikit lega.
Akupun
menghubungi teman sekamarku, untuk memberi tahu kepada panitia bahwa aku butuh
berobat. Aku mengabarinya kalau gusiku pendarahan. Bagaimanapun aku tetap akan
meminta ijin keluar hotel walau sesuai jadwal malam ini memang tidak ada
kegiatan.
Tidak butuh
lama, akhirnya temanku kembali ke kamar. Namun ternyata dia membawa panitia
ikut ke kamar. Dengan tubuh masih lemas, aku keluar kamar menemui panitia dan
mengabarkan kalau saya mau berobat.
Saat pintu
terbuka, panitia melihat anakku di dalam.
“Itu anak
siapa?”
“Saya, Pak.”
“Kenapa ibu bawa
anak kemari, bukannya sudah ada aturan kalua dilarang membawa keluarga?”
“Anak saya ada
di masnya, Pak. Tadi dia datang kemari.”
“Loh, tidak
boleh. Ibu berarti tidak tau aturan. ibu kan seorang guru, apa pantas guru
melakukan ini. Sampai membuat temannya tidak bisa tidur di sini.”
“Tidur disini, Pak.”
“Lah mau tidur
dimana, kalau di dalam ada anak ibu. Ibu pasti menyatukan ranjang menjadi satu,
sampai akhirnya temannya tidak tidur di sini tadi malam harus keluar nginep di
hotel lain.”
“Kasurnya memang
single bad, Pak. Tadi malam teman saya memang pamit mau ke rumah
temannya. Anak saya baru datang tadi diantar masnya.”
“Lah, baru
datang bagaimana. itu barangnya banyak sekali. Itu pasti barangnya anak ibu.
Sampai barang temannya katanya tidak ada di dalam.”
“Tidak pak, barang
bu Umi ada di dalam. Masuk saja kalau mau lihat. Itu barang saya dan ibu Ummi.”
(bukan nama sebenarnya)
Si bapak masih
membentak banyak hal. Kepalaku semakin sakit mendengarnya. Anakku melihat
dengan raut wajah sendu. Segitunya bapak membentakku di saat aku minta
pertolongan untuk berobat. Dia menuduhkan banyak hal tanpa mendengarkan apapun
penjelasanku, itu pun yang dia tuduhkan tidak semuanya benar. Dia memperlakukanku
seolah aku telah melakukan sebuah kejahatan besar yang tak termaafkan. Aku
meringis menahan tangis, sebegitu hinanya aku di mata bapak setelah aku meminta
maaf berkali-kali dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun dia tidak percaya,
masih dengan nada sinis dan tinggi mematahkan semua hal yang kukatakan.
Si
bapak tidak mau tahu, dia masih saja mengatakan banyak hal dengan suara
lantang. Kulihat anakku tertunduk sedih di dekat pintu. Air matanya menetes
dengan tangan yang dia tutupkan ke mulutnya. Dia pasti sangat terpukul melihat
ibunya dibentak-bentak, apalagi yang dipersoalkan karena dirinya ada dalam
kamar.
“Maaf pak,
bisakah lebih manusiawi sedikit? Saya sakit pak. Tangani dulu saya, setelah itu
boleh marahin saya.”
“Kalau ibu
sakit, kenapa datang kemari. Mestinya tidak usah datang, tinggal bilang panitia
kita akan cari yang lain.”
Aku terdiam, tak
mampu berkata-kata.
Sakit sekali
rasanya.
Tak pernah aku
merasakan kesakitan yang luar biasa seperti yang saat ini aku alami.
“Pokoknya 15
menit, kamar sudah harus dikosongkan,” tambahnya lagi belum puas.
Dia berlalu
menuju panitia yang lain masih dengan kemarahannya. Dia masih mempermalukanku
di depan panitia yang lain. Tak ada episode dia akan menunjukkan jalan untuk
berobat, tak ada pembahasan soal aku yang minta ijin berobat, memberi vitamin
atau sekadar menyuruh istirahat. Di saat aku pucat akibat banyak darah yang
keluar, dia masih memaksaku membawa keluar anakku dalam 15 menit. Sehina itu
dia memperlakukanku atas kesalahanku. Seperti sampah yang tak ternilai harganya
di mata bapak panitia sampai tak sedikitpun mengindahkan sakitku. Bahkan dia
masih mempermalukanku di depan orang banyak, di depan guru yang kebetulan
berasal satu daerah denganku.
Aku menatap
panitia meminta iba, menyentuh sedikit saja rasa kemanusiaan yang tersisa dalam
dirinya. Sia-sia. Aku tahu dia hanya melaksanakan tugas, tapi bukankah bisa dia
lakukan dengan bicara baik-baik. Boleh saja dia menghukumku, tapi sedikit saja hargai
aku sebagai tamu di sini yang datang karena undangan mereka.
Aku tak tahan,
sekuat apapun aku menahan air mata. Akhirnya tumpah juga.
[Bik, aku dah di
rumah. Bagaimana apa masih pendarahan? Jadi kesini atau kujemput anak-anak
sekarang?]
[Udah mendingan
mas, jemput anak-anak sekarang ya. Ketemu di basement.] Jawabku tanpa
menceritakan apa yang sedang aku alami di sini.
Tanpa banyak
kata, anakku segera kuminta ke lantai bawah setelah aku bilang masnya menunggu
di parkiran. Dia sudah paham apa yang seharusnya dia lakukan. Pastinya dengan
penuh luka, dia pun keluar menuju kosan masnya.
Maafkan aku
anakku, di ulang tahunmu aku memberikan kado yang tak kan kamu lupakan selama
hidupmu. Kado pahit ini akan membuatmu belajar arti menghargai orang lain, Nak.
Aku kembali ke
ruangan acara, tanpa ada siapapun yang tahu apa yang terjadi denganku. Aku tidak
peduli lagi dengan kesehatan fisik dan hatiku yang remuk redam dengan kejadian
barusan. Di depan teman-teman, aku bersikap tidak ada apa-apa, aku tetap
mengikuti kegiatan penutupan seolah bahagia. Walau berkali-kali aku harus
menarik nafas panjang, membuang segala sakit yang merajam di ulu hati terdalam.
Acara sudah berakhir
malam hari, semua kegiatan dan administrasi tuntas setelah sesi penutup bersama
pembesar kantor. Rencananya aku masih akan pulang besok, karena travel
yang kupesan masih pukul 11 siang. Tapi mengingat kejadian sore ini, rasanya
tersisa sesak saja di sini. Untuk apa aku masih berada disini? Rasanya aku tak
sanggup menunggu pagi.
Bergegas aku ke
kamar untuk berkemas, membereskan semua barangku di kamar. Aku akan pulang malam ini juga. Darah kembali mengalir deras dari gusiku, tapi aku tidak lagi panik
melihatnya yang membasahi wastafel hotel. Tak lagi ngilu, tak lagi terasa
lemas melihat alirannya, tak lagi terasa pening di kepala, karena ada yang lebih nyeri terasa. Di hatiku!
22 Februari 2024
Posting Komentar untuk " Kado Tersakit di Ulang Tahun Anakku "